Pages

Saturday, August 15, 2015

Melodi Keharmonisan Tiga Pasang Lansia

Minggu pertama menjalani lima hari sekolah, membuat aku sedikit berbahagia. Pasalnya, waktu untuk beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarga terasa semakin panjang. Apalagi karena aku sendiri menyanding gelar " Anak Kos ". Yang sehari-hari hanya bergulat dengan lingkungan kost yang membosankan. Meskipun sudah cukup lama berdiam dan menjalani lika-liku kehidupan di bawah lentera redup kamar kos. Bukan berarti kata rindu terhadap keluarga dan lingkungan dimana aku dilahirkan akan sirna dalam hidupku. Bersama dengan kepenuhan batin yang terasa menetas dari lelahnya hidup. Aku akan menceritakan sebuah pengalamanku sendiri satu hari setelah pelaksanaan lima hari sekolah.

Melodi Keharmonisan Tiga Pasang Lansia
M
alam Sabtu. Waktu dimana aku masih bertengger di sebuah kasur kecil sambil menatap satu per satu buku yang berantakan. Di waktu inilah biasanya aku memegang kepala sambil memikirkan kehangatan keluarga. Kehangatan keluarga yang selalu timbul di benak pikiran menjelang akhir pekan.
            Malam yang biasanya identik dengan kedinginan menyergap. Terlihat tidak tertanam dalam malamku ini. Udara malam yang aku rasakan serasa menimbun berbagai zat-zat kalor yang membuat kamar kost ini terasa di tangki penggorengan. Tanpa pikir waktu, ku lepas baju hitamku ini dan segera mengambil laptop hitam kesayanganku. Rencanaku kali ini ingin melanjutkan cerita pendek tentang pengalamanku sendiri. Cerita pendek yang berjudul Sahabat Monster Pemalak ”. Cerpen ini terasa menjadi kawan terangku tatkala aku bingung untuk menghabiskan waktu. Setelah beribu huruf dan beratus kata aku tumpahkan ke dalam lembar Microsoft Word berukuran 21cm x 29.7 cm. Akhirnya cerpen yang ku ketik telah berhasil diselesaikan. Menulis sebuah cerita bukan hanya membuat mata maupun tanganku lelah. Namun juga menguras pikiran. Karena aku harus menyusun kata dan kalimat yang sekiranya pantas untuk dibaca.
            Kehangatan malam semakin menghilang dengan larutnya keadaan malam. Baju lesu yang terbentang jauh dalam tangkapan segera kuambil dan kupakaikan untuk menghadapi kedinginan. Malam mulai membius lingkungan di sekitar kost. Teriakan dan perbincangan kecil yang setiap waktu terasa menyentuh telinga seraya tertidur pulas terbius kedinginan malam. Tak terkecuali denganku, mata yang tak mampu menahan kokohnya kedinginan dan telinga yang tak tahan menyaksikan kesunyian mengajakku untuk berpetualang dalam kedamaian mimpi. Kutarik selimut berwarna biruku dan kudamparkan tubuh kecilku dalam balutan kehangatan.
            Tidak ada ayam berkokok yang menyambut pagi. Tidak ada kicauan suara burung indah yang sedang menari. Pagi yang indah ini hanya menyambutku dengan suara alarm yang begitu menganggu mimpi. Suasana pagi yang sepi nampak dalam lingkungan kamar kostku. Mungkin pagi yang aku saksikan ini masih terasa terlalu pagi bagi penge-kos lain. Sehingga belum terlihat telapak-telapak kaki basah yang terdampar dalam lantai. Segera kubasuh muka dan kulaksanakan perjamuan dengan Sang Maha Pencipta. Menyambut pagi dengan rasa syukur telah dilaksanakan. Tiba saatnya menyantap hidangan pagi di sebuah warung nasi dekat kost. Kusantap sarapan dengan lahapnya meskipun hanya segumpal nasi yang dilumuri tempe basah dan mendoan. Masakan hati ayam berlumur kecap pedas tak lupa kupesan dan dibungkus. Masakan ini akan kubawa ke kampung halaman dalam bentuk pesanan dari ibu tercinta.
            Gebyuran air segera tertumpah di badanku. Kesegaran air perkotaan serasa menyentuh kalbu. Kini tiba saatnya aku melepas rindu melangkahkan kaki menuju gunung biru. Dengan pakaian pramuka lengkap ditutupi dengan jaket berwarna merah milik klub sepakbola Barcelona ku mulai menuju terminal. Bus tua dengan corak warna hitam yang mendominasi aku duduki. Aku duduk di sebuah bangku dekat jendela nomor dua dari belakang. Lalu kucoba menggeserkan kaca bus agar kesegaran pagi dapat aku rasakan. Penumpang-penumpang bus mulai berdatangan. Penumpang pertama, sepasang kakek nenek dengan usia sekitar 70an menurutku. Terlihat sang kakek menuntun istrinya untuk duduk di depanku. Nenek dengan penampilan sederhana dengan kerudung berwarna merah tua mencoba duduk di sebuah kursi yang tidak terlalu empuk. Sementara sang kakek hanya menatap sang nenek untuk memastikan sang pujaan hati duduk dengan sempurna di kursi. Setelah itu sang kakek duduk dan mulai mengobrol dengan sang kekasih. Aku hanya terkagum-kagum dengan keharmonisan yang tersusun secara halus di kedua lansia itu. Sepasang kekasih yang sudah tidak muda lagi yang dengan berani pergi ke kota yang penuh dengan ketidakpastian. Aku hanya berpikir, apakah diantara anaknya tidak ada yang mau menemaninya? Mungkin pertanyaanku ini tak akan pernah terjawab. Ya, karena aku sendiri belum mampu bertanya seperti itu kepada orang yang sudah sepatutnya dihormati.
            Bunyi suara bus mulai berbunyi, asap knalpot hitam mulai menyebar dengan cepatnya. Ketika bus hendak berangkat, tiba-tiba naiklah sepasang suami istri yang sudah tua dengan membawa sebuah karung yang katanya berisi beberapa ekor ayam. Seorang kakek dengan kaos berwarna cokelat sedikit tua dengan bintik-bintik hitam yang melekat nampak gagah dengan topi bergaya muda berwarna agak hitam mungkin karena sudah termakan usia. Sementara sang istri mengenakan baju berwarna hijau dengan kain semacam selendang yang ditempelkan di atas kepala. Aku mencoba memberanikan diri untuk bertanya, karena kebetulan mereka duduk di sebelahku.
“ Maaf Mbah, Mbah bawa apa di karung itu?” tanyaku.
“ Itu... ayam” Jawab si kakek sambil memegang karung itu.
“ Ohh, baru beli ya Mbah?” tanyaku kembali.
“ Iya ini, tadi baru beli.”
“ Berapa Mbah satunya?” kucoba bertanya lagi.
“ Lagi mahal, sekitar 115 ribu.” Terlihat wajah keriputnya menatap mataku.
“ Ohh ya mahal, lah Mbah mau kemana sih? Lanjutku.
“ Ke Tumanggal”
“ Tumanggal Pengadegan Mbah?”
“ Iya, Pengadegan wetan. Lah panjenengan(kamu) mau kemana?” tanya si Kakek.
“ Rembang Mbah.” Jawabku dengan singkat.
Percakapan kami terhenti ketika ada seorang penumpang anak SMP naik kedalam bus. Namun setelah itu, kami tidak berbincang-bincang lagi.
            Perjalanan ke kampung halaman begitu mengasikan. Hamparan bangunan-bangunan tua yang terlihat di kota dan sekitaran kota lama kelamaan tergantikan dengan suasana hijau yang begitu menyegarkan mata. Dan kembali, aku melihat ada sepasang suami istri lansia yang menaiki bus. Kali ini berbeda dengan kedua pasang lansia tadi. Sepasang lansia ini menggunakan pakaian tani yang terlihat sedikit kotor. Mereka kemudian duduk di bangku sebelah belakangku. Bau dedaunan seraya terbang mengiringi kedatangan mereka. Suasana pagi ini begitu indah. Aku baru pertama kali duduk di kelilingi tiga pasang lansia yang menjalin melodi dengan keharmonisan. Aku merasakan hari ini adalah hari yang sangat indah. Betapa tidak? Sekian lama aku menumpang bus, baru pertama kalinya aku merasakan kedamaian hati yang seperti ini.
            Sepertiga lagi perjalananku akan selesai. Kucoba melirik di sebelah kanan jendela yang terlihat sebuah bangunan bertuliskan “ Desa Tumanggal “. Lalu terdengar ketokan tangan keriput sang kakek yang duduk disampingku. Tak lama kemudian mereka turun dari bus sambil menjinjing karung. Tubuh ringkih keduanya nampak menghilang ketika bus kembali melaju. Namun, aku kembali kehilangan sepasang suami istri lansia. Ketika mereka yang duduk di belakangku turun dari bus. Kemudian perjalanan kami lanjutkan. Tapi sayang sekali, ketika bus hendak masuk ke daerah Rembang. Sang sopir memutuskan untuk berhenti dan berbelok lagi ke Purbalingga. Aku sangat menyayangkan perilaku supir bus itu. Mereka seenaknya saja menurunkan kami di tengah jalan. Kini hanya aku dan sepasang lansia yang mau tidak mau harus berdiri di pinggir jalan untuk menunggu bus selanjutnya datang.
“ Dasar supir, mentang-mentang busnya tidak penuh seenaknya saja menurunkan orang di tengah jalan.” Terlihat sang Kakek marah.
“ Iya tuh Mbah.” Aku mencoba menjawab.
“ Tadi mengemis-ngemis supaya kita naik. Udah naik malah diturunin sembarangan.” Kembali sang Kakek mengungkapkan keprotesannya.
Sementara sang Nenek hanya terdiam dengan muka sedikit ditekuk.
“ Sampeyan(kamu) mau kemana?” tanya kakek kepadaku.
“ Ke Losari . Lah Mbah mau kemana?.” Jawabku.
“ Bantarbarang. Lah asalmu mana? Purbalingga ya?” tanya kakek dengan penasaran.
“ Bukan kek. Aku dari Sumampir.” Jelasku.
“ Ohh yaya.”
Kemudian terdengar suara kondektur memanggil kami untuk segera naik ke bus. “ Ini yang kosong aja sampai ke Rembang.”  Ungkap sang kakek.
“ Iya..” aku mencoba menjawab dengan muka kekecewaanku. 
            Perjalanan dilanjutkan. Memasuki wilayah daerah dimana desaku berada. Kami layaknya disambut dengan beberapa tikungan jalan yang begitu tajam dan menurun. Semilir angin serasa memasuki bus dan membuat mata penumpang bus seperti tak ingin melewatkan begitu saja keindahan pagi ini. Pohon-pohon tebu yang tertata menancap rapi di tanah yang bergelombang. Ohh, indahnya alam negeriku. Betapa kagumnya dengan tanah bangsaku. Berbagai alam dan warna bersatu membentuk keindahan yang menyejukan dan mendamaikan hati. Kemudian sang kakek nenek mulai turun dari bus ketika mereka sampai di pertigaan jalan pasar. Pasar yang masih begitu ramai seakan menghilangkan suara mereka tatkala turun dari bus. Kini hanya aku sendiri dalam bus dan hanya sebentar saja. Aku sampai di terminal Losari. Kemudian aku melanjutkan perjalananku ke rumah dan sampai dalam hitungan menit.
            Aku merasakan ada hal yang berbeda dalam perjalananku kali ini. Kedamaian dan ketenangan terasa merayapi hati ini. Mungkinkah semua ini karena ketiga pasangan lanjut usia itu. Keakraban, kesetiaan, kebaikan, keramah tamahan mereka membentuk alunan harmoni yang sedap dipandang. Ketulusan mereka menjalani takdir dan kehidupan seakan merasuki alam pikirku. Kelembutan bicara dan perilaku mereka memang indah untuk diperdengarkan. Aku berharap setelah ini, banyak pengalaman yang aku dapatkan dan menginspirasi dalam perjalananku.

Sekian dan Salam Hangat,

Imam Arifin   
           


0 comments:

Post a Comment

Silakan Komentar dengan Bijak dan Santun