Pages

Monday, January 5, 2015

CERPEN : Lima Puluh Persen

Lima Puluh Persen
Matahari kali ini begitu malu untuk membagi sepercik sinarnya kepada bumi. Kedinginanan pagi pun masih terasa menyelimuti badan para penduduk damai desa ini. Tapi getirnya dingin ini tak akan  pernah menjadi batu sandungan untuk Adno dalam menjalani kehidupan ini.
                Air yang sejuk seraya menusuk tulangnya ketika tubuh besarnya ditumpahi seguncur air yang begitu dingin. Dengan segera dia memakai pakaian sekolah kebanggaannya. Tanpa berpikir panjang, Adno langsung menuju sekolah yang ia cintai tanpa melahap sedapnya sepiring sarapan pagi. Orang tuanya pun tidak pernah mengingatkan ia untuk menikmati masakan pagi buatannya.
                Berangkat sekolah melewati bukit yang begitu indah yang dilapisi karpet hijau nan basah dan ditumpangi beribu-ribu aneka tumbuhan yang subur membuat rasa semangat patriotismenya menggelegar. Jarak sekolah yang tak begitu jauh, yaitu hanya dibawah bukit dimana terdapat surga tempat tinggalnya, membuat rasa lelahnya takut untuk mengginggapi dirinya.
                Matahari mulai memunculkan sinarnya ketika Adno sampai di depan pintu gerbang sekolahnya. Dengan wajah yang penuh senyum, dia mulai  menyapa teman-temannya. Tak terlihat senyum teman-temannya membalas senyum ikhlasnya. Tetapi, Adno tidak memikirkan tentang hal itu, dengan langkah tegap dia mulai masuk kedalam kelas yang telah tertulis ” KELAS V “ di atas pintun kelasnya. Tak sekian lama, bel berbunyi menandakan waktunya pelajaran dimulai.
                Matematika sebagai pelajaran pembuka, dengan wajah yang masih segar, Adno mulai membuka buku catatannya yang begitu rapi bagaikan lapak pedagang kaki lima di pinggir jalan kota besar.  Materi kali ini begitu membosankan baginya, sehingga dengan cepat pikirannya berubah menjadi muram. Detik demi detik mencoba dilihatnya, berharap jam pelajaran ini cepat berlalu. Dan sudah tidak menahan hasratnya untuk bermain sepakbola di pelajaran olahraga sesudah ini. Menunggu waktu yang begitu lama, membuat matanya terasa dibebani sebuah batu yang besar.  Sehingga lambat waktu, dia mulai menjatuhkan kepalanya di sebuah meja yang pikirnya empuk seperti bantal di rumah. Setengah jam berlalu, waktunya untuk berganti pelajaran. Terdengar sebuah suara lonceng yang indah masuk menuju lubang telinganya.  “ waktunya pelajaran olahraga yang beraksi” teriaknya dalam batin. Tak terkira, guru matematika sedang menulis di selembar kertas yang sudah hampir terpenuhi angka-angka yang membingungkan.
 Selesai menulis, berjalanlah guru itu menuju Adno, sambil menyerahkan kertas yang baru ditulisnya dia berkata  “ tolong kerjakan 25 soal matematika ini sebagai hukuman bagi murid yang tidur di kelas “.
Kemudian Adno menjawab “ 25 soal bu? Itu terlalu banyak, saya kan hanya tidur setengah jam?.
Bu guru menjawab keluhannya “ setengah jam itu 30 menit, kamu seharusnya mengerjakan soal ini sebanyak 30 soal, kamu mau kalau Ibu tambahin?”
Dengan sigap Adno menjawab “ jangan Bu, ini sudah dari sekedar cukup. Kapan dikumpulkan tugas sebanyak ini Bu?”
Dengan cepat Bu guru menjawab “ Besokkk “
Adno seperti terlempar dari sebuah banteng yang sedang ia tunggangi. Dia berpikir bagaimana untuk mengerjakan soal sebanyak itu, mengerti saja tidak tahu apalagi mengerjakan.
                Dengan sedikit lesu, dia mulai bangkit kembali untuk mengikuti pelajaran olahraga sebagai pelajaran yang dia sukai. Seragam yang menempel di tubuhnya dengan cepat berganti dengan sebuah kaos olahraga beserta celananya. Kemudian melangkah pergi menuju gerbang lapangan. Kegiatan pemanasan sudah ia lewati dan tiba saatnya untuk bermain sepakbola. Lapangan yang licin dan penuh dengan beberapa lubang besar yang tergenang limpahan air tidak menyurutkan niatnya untuk memenangkan pertandingan kali ini. Permainan berlangsung dengan seru, tetapi dewi fortuna memang belum menghampiri dia. Tim yang ia bela harus takluk dengan skor 4-1, lebih parahnya lagi 1 dari keempat gol yang masuk kegawang timnya merupakan gol bunuh diri yang Adno lakukan. “Hari ini begitu menyebalkan” pikirnya.
                Selesai bermain sepakbola, Adno mengajak teman-temannya untuk membersihkan diri di sungai  yang dekat dengan lapangan. Air sungai yang berwarna cokelat mulai sedikit menghilang warnanya berubah menjadi warna bening . Mandi di sungai yang begitu bersih ini membuat hari yang melelahkan Adno terasa kabur terbirit-birit dari dirinya. Merasa sudah terlalu lama mandi, Adno memutuskan untuk kembali ke kelas dan meninggalkan teman-temannya di sungai. Adno menduga waktu istirahatnya sudah habis, jadi dia mulai menyusun alasan agar guru yang nanti mengajarnya tidak menghukumnya kembali. Secuil ide muncul dari otaknya, dengan  langkah pasti dia menginjakan kakinya di depan pintu kelas. Tangan berairnya mulai mengetuk pintu yang sedikit terbuka. Setelah disuruh masuk, Adno diminta untuk berdiri di depan kelas untuk diberi beberapa pertanyaan .
Bu guru “ mengapa kamu terlambat ?”
Adno “ maaf Bu, bukan niat saya untuk terlambat tapi..”(dipotong oleh Ayu)
Ayu “bukan niat untuk apa Adno? Kamu kan tadi mandi di sungai dengan teman-teman yang lain?”
Bu guru “ benar yang dibicarakan Ayu, Adno?
Adno “ Iya Bu, tapi saya hanya mandi sebentar setelah itu saya pulang kerumah.”
Bu guru “ ke rumah untuk apa?”
Adno “ Ibu saya sedang sakit, jadi saya harus memasak air dan menanak nasi Bu.”
Bu guru “ ya udah, kamu silakan duduk dan mengikuti pelaran Ibu.”
Adno “ terima kasih Bu...”
                Alasan yang dibuat kali ini manjur, dengan hati yang masih plong Adno mulai duduk dan mengikuti pelajaran. Pelajaran kali ini begitu mengasikan, karena Adno  tidak sepenuhnya menggunakan otaknya untuk mencerna dan memahami pelajaran yang sedang disampaikan. Pelajaran Seni Budaya dan Ketrampilan menjadi menu santapannya pada siang hari ini. Apalagi materi yang sedang diajarkan adalah menggambar. Sehingga dengan semangat yang tinggi, dia mulai menarik pensil mungilnya memebentuk lekukan-lekukan yang indah. Tema yang Adno buat kali ini yaitu mandi di sungai. Sungai yang berwarna biru, batu-batu bulat yang basah, serta sekelompok anak yang sedang berenang menjadi  pemandangan indah yang memenuhi kertas gambar miliknya. Setelah selesai menggambar, kini tiba waktunya penilaian hasil jerih payah para siswa oleh gurunya. Tak berlangsung lama, hasil penilaiannya pun dibagikan. Alangkah senangnya Adno melihat goresan tinta merah membentuk angka 87 yang melekat di sebuah batu yang dia gambar. Rasa senangnya kembali bertambah tatkala sebuah suara merdu melintas di depan telinganya yaitu, suara bel yang  seraya mengajaknya untuk pulang menghampiri Ibu kesayangannya. Dengan langkah yang cepat, Adno mulai keluar dari kelas dan segera menuju ke rumah kesayangannya.
                Sesampainya di rumah, Adno mulai membuka pintu kayu rumahnya yang kemudian diikuti sebuah salam keluar dari bibirnya.
Adno :”assalamu’alaikum Bu...”
Ibu :”wa’alaikumsalam.. kamu udah pulang Nak?”
Adno :udah lah Bu, Bu kali ini Adno mau memberikan Ibu kejutan..”
Ibu :”kejuatan apa Nak?”
Kemudian Adno membuka tas kumuhnya dan mengeluarkan sebuah buku lalu dibukanya buku itu dengan cepat dan memberikan kepada Ibunya.
Adno :” Bu, ini kejutannya..”
Ibu :” wah...kamu dapet nilai yang bagus Nak”
Adno :” ibu banggakan kan? Ini nilai tertinggi loh di kelas..”
Ibu :“ibu bangga banget Nak, gak nyangka anak Ibu ternyata pandai menggambar. Lanjutkan ya Nak?”
Adno :”iya Bu, inshaallah..”
Ibu :”ya udah, kamu makan gih. Ibu sudah masakin pepes ikan buat kamu.”
Adno langsung bergegas berganti pakaian dan dengan segera menuju ruang makan untuk menyantap makanan favoritnya.  Hari ini merupakan hari “ 50% yang menyebalakn dan 50% yang menyenangkan” dalam batinnya.
Sekian.........

0 comments:

Post a Comment

Silakan Komentar dengan Bijak dan Santun