Pages

Wednesday, October 12, 2016

Misteri Surga di Hutan Perbatasan

Misteri Surga di Hutan Perbatasan

Hasil gambar untuk Hutan indah

            “Gubyrak...” terdengar suara benda jatuh yang langsung membangunkanku.
Kulirik sekeliling kamarku untuk memastikan suara apa yang aku dengar. Sambil membangkitkan badan yang masih tak mau lepas dari kasur, aku mencoba bangun. Tak ada yang aneh disekitar kamarku, pikirku. Namun ketika aku menatap jendela, nampak seekor burung merpati jatuh tepat di depan jendela. Tak salah lagi, merpati itu menabrak jendela. Namun, mengapa merpati itu ke kamarku? Apa mungkin ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepadaku? Aku mulai bertanya-tanya dalam hipotesisku.
Dengan seribu keberanian dan rasa penasaran aku mencoba mendekat jendela. Langsung ku dorong jendela keluar sehingga nampak burung merpati berwarna putih sedang tergeletak di depan jendela. Tanpa pikir panjang, aku segera mengambil merpati itu. dugaanku benar, nampak secarik surat tercengkrama dengan kuat di kaki merah merpati itu.
“Apa isinya? Mungkinkah dari seseorang?” pikirku menjadi-jadi.
Ini pertama kalinya aku mendapat surat dari seseorang. Jadi, aku sangat tidak sabar untuk membuka dan mengetahui surat itu.
“Burung yang gagah, ijinkan aku mengambil surat ini,” tanyaku pada merpati.
Tak ada jawaban, hanya muka polos seekor burung yang aku lihat. Tanpa pikir panjang aku melepaskan merpati itu.
“Kembalilah ke pemilikmu, ucapkan salam dariku,” aku kembali berbicara dengan seekor burung.
Helaan napas panjang mengiringiku membuka surat. Dengan perlahan, surat itu terbuka dan nampak beberapa kalimat terlihat bermunculan.
Hijau di perbatasan. Berdiri surga di atasnya.
Hanya kalimat itulah yang berhasil aku baca. Apa maksud semua ini? aku mencoba menafsirkan semua kalimat itu.
“Hijau? Di daerah perbatasan?”
“Apa mungkin hutan angker itu? Ah... apa benar?”
“Jika benar, apa maksud kalimat berdiri surga diatasnya? Lebih baik aku menyelidikinya.”
Segera kuambil jaket yang tergantung di dinding kamar. Dengan langkah buru-buru aku langsung menuju ke garasi untuk mengambil sepeda yang nantinya aku gunakan untuk pergi ke hutan.
“Mau kemana nak?” tanya ibuku tepat di belakangku.
“Bukan urusanmu,” kukayuh sepedaku dengan cepat tanpa memperdulikan ibu ku yang masih berdiri di depan garasi.
Aku dengan ibuku memang tidak begitu akrab sejak peristiwa dua tahun yang lalu. Aku masih ingat betul, ketika aku melihat dengan kepala mataku sendiri ibu sedang memberikan sesuatu yang aku yakin itu racun kepada adikku, Alfin. Aku belum bisa menerima semua ini. Alfin adik kesayanganku tewas di dalam kamar setelah menenggak racun itu. Aku betul-betul merasakan kehilangan orang yang selama ini ada denganku. Aku tidak tahu, mengapa ibu setega itu? apakah ibu sudah tidak sayang lagi kepada Alfin? Entah, sampai saat ini aku belum tahu jawaban dari semua ini.
***
            “Thoot..thooot” suara klakso membangunkan pikiranku. Aku tak habis pikir, mengapa aku bersepeda sambil melamunkan sesuatu. Apakah aku sudah gila? Bersepeda di tengah jalan tanpa memperhatikan pengendara yang lain?
            Aku langsung mengayuh sepedaku dengan cepat menuju hutan sebelum matahari naik. Setelah hampir bersepeda selama setengah jam. Akhirnya aku sampai di hutan perbatasan ini. Konon dari banyak cerita yang beredar, di hutan ini banyak mahluk gaibnya. Aku sebenarnya agak ragu untuk pergi ke hutan angker ini. Tapi karena surat ini aku memberanikan diri. Aku berjalan pelan sambil menuntun sepeda. Hutan yang rindang, sepi sungguh menakutkan. Aku mencoba berjalan semakin dalam ke hutan. Namun tiba-tiba, aku seperti mendengar suara-suara yang biasa dibicarakan oleh banyak orang. Inikah mahluk gaibnya? Aku bertanya dalam hati sambil keringat bercucuran. Aku langsung berbalik dan segera pergi meninggalkan hutan ini.
            “Hei tunggu,” Panggil seorang gadis.
            Aku menghentikan langkahku. Aku harus bagaimana? Aku ingin sekali menengok, tapi aku benar-benar takut.
            “Hei cepat kesini!”
            “Kamu siapa?” aku masih membelakanginya.
            “Aku lah pengirim surat itu.” terusnya.
            Aku memberanikan diri untuk melihat gadis itu. Perlahan-lahan aku membalikan badan menghadap gadis itu. Terlihat sesosok wanita muda yang mungkin seumuran denganku sedang berdiri sambil tersenyum kepadaku. Aku masih tak percaya, jika dialah penulis surat ini. Gadis itu mendekatiku dengan pelan kemudian menjulurkan tanganya kepadaku.
            “Aku Rona. Bolehkah aku tahu namamu?”
            “Mahrez. Ya itu namaku,” jawabku ragu-ragu. “Siapakah kamu? Apa yang kamu lakukan di sini? tanyaku penasaran.
            “Ih kamu ini. Aku Rona. Aku memang tinggal disini.”
            “Tinggal disini? Dengan siapa?”
            “Keluargaku,” jawabnya singkat. “Kamu mau ke rumahku?”
            Aku hanya mengangguk. Lalu kuikuti setiap langkah gadis ini. Bola mataku seakan tak mau berhenti melihat sekeliling hutan ini. Benar-benar tidak percaya ada manusia yang tinggal di hutan yang begitu misterius ini. Tak lama kami berjalan, kami telah sampai di rumah Rona. Inikah yang disebut rumah? sebuah gubug yang diletakan diatas pohon. Apa mungkin ini maksud dari kata berdiri surga di atasnya? Entahlah.
            “Benarkah ini rumahmu?” tanyaku.
            “Iya ini rumahku. Emangnya kenapa? Kamu tidak suka?” jawabnya.
            “Engga. Pohon ini tinggi sekali. Bagaimana kita naik?”
            “Apa kamu tidak lihat? Tuh ada tangga?” sambil menunjuk tangga itu.       
            “Ohh ya. Hehe,” jawabku malu.
            Langsung saja Rona memanjat pohon itu dengan cepatnya. Dia benar-benar tidak takut. Pohon ini sangatlah tinggi. Dengan rumahku saja mungkin lebih tinggi ini. Apalagi letaknya yang dekat dengan jurang. Huh, keberanianku mulai tertantang. Namun dengan napas panjang aku mulai memanjat pohon ini, meter demi meter aku lalui. Tidak begitu sulit asalkan aku tetap seimbang dan setidaknya aku tidak menatap ke bawah. Tinggal beberapa meter lagi aku sampai, namun kayu yang aku pijak ternyata rapuh.
            “Gubrak..” aku hampir terjatuh untung ada Rona yang berhasil memegang tanganku.
            “Kamu tetap tenang, pegang erat tanganku,”
            Aku langsung memegang tangan Rona dengan erat. Dengan hentakan yang cukup kuat dari kakiku, akhirnya aku berhasil keluar dari keteledoran ini.
            “Makasih Rona,”
            “Ya sama-sama. Lain kali hati-hati,” jawab gadis berani ini.

            Seketika berdiri di atas pohon ini. Kenyamanan langsung menyentuh kalbu. Tidak seperti yang aku bayangkan. Rumah ini begitu sejuk dan menenangkan. Keindahan yang tergambar dari alam juga sangat mengesankan. Apakah surga ini yang dimaksud? Sungguh mengagumkan.
**to be continued**

0 comments:

Post a Comment

Silakan Komentar dengan Bijak dan Santun