Minggu pertama menjalani lima hari sekolah, membuat aku sedikit
berbahagia. Pasalnya, waktu untuk beristirahat dan menghabiskan waktu bersama
keluarga terasa semakin panjang. Apalagi karena aku sendiri menyanding gelar
" Anak Kos ". Yang
sehari-hari hanya bergulat dengan lingkungan kost yang membosankan. Meskipun sudah cukup lama berdiam dan
menjalani lika-liku kehidupan di bawah lentera redup kamar kos. Bukan berarti
kata rindu terhadap keluarga dan lingkungan dimana aku dilahirkan akan sirna
dalam hidupku. Bersama dengan kepenuhan batin yang terasa menetas dari lelahnya
hidup. Aku akan menceritakan sebuah pengalamanku sendiri satu hari setelah
pelaksanaan lima hari sekolah.
Melodi Keharmonisan Tiga Pasang Lansia
alam Sabtu. Waktu
dimana aku masih bertengger di sebuah kasur kecil sambil menatap satu per satu
buku yang berantakan. Di waktu inilah biasanya aku memegang kepala sambil
memikirkan kehangatan keluarga. Kehangatan keluarga yang selalu timbul di benak
pikiran menjelang akhir pekan.
Malam yang biasanya identik dengan
kedinginan menyergap. Terlihat tidak tertanam dalam malamku ini. Udara malam
yang aku rasakan serasa menimbun berbagai zat-zat kalor yang membuat kamar kost ini terasa di tangki penggorengan.
Tanpa pikir waktu, ku lepas baju hitamku ini dan segera mengambil laptop hitam
kesayanganku. Rencanaku kali ini ingin melanjutkan cerita pendek tentang
pengalamanku sendiri. Cerita pendek yang berjudul “ Sahabat Monster Pemalak ”. Cerpen ini terasa menjadi kawan
terangku tatkala aku bingung untuk menghabiskan waktu. Setelah beribu huruf dan
beratus kata aku tumpahkan ke dalam lembar Microsoft
Word berukuran 21cm x 29.7 cm. Akhirnya cerpen yang ku ketik telah berhasil
diselesaikan. Menulis sebuah cerita bukan hanya membuat mata maupun tanganku
lelah. Namun juga menguras pikiran. Karena aku harus menyusun kata dan kalimat
yang sekiranya pantas untuk dibaca.
Kehangatan malam semakin menghilang
dengan larutnya keadaan malam. Baju lesu yang terbentang jauh dalam tangkapan
segera kuambil dan kupakaikan untuk menghadapi kedinginan. Malam mulai membius
lingkungan di sekitar kost. Teriakan dan perbincangan kecil yang setiap waktu
terasa menyentuh telinga seraya tertidur pulas terbius kedinginan malam. Tak
terkecuali denganku, mata yang tak mampu menahan kokohnya kedinginan dan
telinga yang tak tahan menyaksikan kesunyian mengajakku untuk berpetualang
dalam kedamaian mimpi. Kutarik selimut berwarna biruku dan kudamparkan tubuh
kecilku dalam balutan kehangatan.
Tidak ada ayam berkokok yang
menyambut pagi. Tidak ada kicauan suara burung indah yang sedang menari. Pagi
yang indah ini hanya menyambutku dengan suara alarm yang begitu menganggu
mimpi. Suasana pagi yang sepi nampak dalam lingkungan kamar kostku. Mungkin
pagi yang aku saksikan ini masih terasa terlalu pagi bagi penge-kos lain.
Sehingga belum terlihat telapak-telapak kaki basah yang terdampar dalam lantai.
Segera kubasuh muka dan kulaksanakan perjamuan dengan Sang Maha Pencipta.
Menyambut pagi dengan rasa syukur telah dilaksanakan. Tiba saatnya menyantap
hidangan pagi di sebuah warung nasi dekat kost. Kusantap sarapan dengan
lahapnya meskipun hanya segumpal nasi yang dilumuri tempe basah dan mendoan. Masakan hati ayam berlumur
kecap pedas tak lupa kupesan dan dibungkus. Masakan ini akan kubawa ke kampung
halaman dalam bentuk pesanan dari ibu tercinta.
Gebyuran
air segera tertumpah di badanku. Kesegaran air perkotaan serasa menyentuh
kalbu. Kini tiba saatnya aku melepas rindu melangkahkan kaki menuju gunung
biru. Dengan pakaian pramuka lengkap ditutupi dengan jaket berwarna merah milik
klub sepakbola Barcelona ku mulai
menuju terminal. Bus tua dengan corak warna hitam yang mendominasi aku duduki.
Aku duduk di sebuah bangku dekat jendela nomor dua dari belakang. Lalu kucoba
menggeserkan kaca bus agar kesegaran pagi dapat aku rasakan.
Penumpang-penumpang bus mulai berdatangan. Penumpang pertama, sepasang kakek
nenek dengan usia sekitar 70an menurutku. Terlihat sang kakek menuntun istrinya
untuk duduk di depanku. Nenek dengan penampilan sederhana dengan kerudung
berwarna merah tua mencoba duduk di sebuah kursi yang tidak terlalu empuk.
Sementara sang kakek hanya menatap sang nenek untuk memastikan sang pujaan hati
duduk dengan sempurna di kursi. Setelah itu sang kakek duduk dan mulai mengobrol
dengan sang kekasih. Aku hanya terkagum-kagum dengan keharmonisan yang tersusun
secara halus di kedua lansia itu. Sepasang kekasih yang sudah tidak muda lagi
yang dengan berani pergi ke kota yang penuh dengan ketidakpastian. Aku hanya
berpikir, apakah diantara anaknya tidak ada yang mau menemaninya? Mungkin
pertanyaanku ini tak akan pernah terjawab. Ya, karena aku sendiri belum mampu
bertanya seperti itu kepada orang yang sudah sepatutnya dihormati.
Bunyi suara bus mulai berbunyi, asap
knalpot hitam mulai menyebar dengan cepatnya. Ketika bus hendak berangkat,
tiba-tiba naiklah sepasang suami istri yang sudah tua dengan membawa sebuah
karung yang katanya berisi beberapa ekor ayam. Seorang kakek dengan kaos
berwarna cokelat sedikit tua dengan bintik-bintik hitam yang melekat nampak
gagah dengan topi bergaya muda berwarna agak hitam mungkin karena sudah
termakan usia. Sementara sang istri mengenakan baju berwarna hijau dengan kain
semacam selendang yang ditempelkan di atas kepala. Aku mencoba memberanikan
diri untuk bertanya, karena kebetulan mereka duduk di sebelahku.
“ Maaf Mbah, Mbah
bawa apa di karung itu?” tanyaku.
“ Itu... ayam”
Jawab si kakek sambil memegang karung itu.
“ Ohh, baru beli ya
Mbah?” tanyaku kembali.
“ Iya ini, tadi
baru beli.”
“ Berapa Mbah
satunya?” kucoba bertanya lagi.
“ Lagi mahal,
sekitar 115 ribu.” Terlihat wajah keriputnya menatap mataku.
“ Ohh ya mahal, lah
Mbah mau kemana sih? Lanjutku.
“ Ke Tumanggal”
“ Tumanggal
Pengadegan Mbah?”
“ Iya, Pengadegan
wetan. Lah panjenengan(kamu) mau kemana?” tanya si Kakek.
“ Rembang Mbah.”
Jawabku dengan singkat.
Percakapan kami
terhenti ketika ada seorang penumpang anak SMP naik kedalam bus. Namun setelah
itu, kami tidak berbincang-bincang lagi.
Perjalanan ke kampung halaman begitu
mengasikan. Hamparan bangunan-bangunan tua yang terlihat di kota dan sekitaran
kota lama kelamaan tergantikan dengan suasana hijau yang begitu menyegarkan
mata. Dan kembali, aku melihat ada sepasang suami istri lansia yang menaiki
bus. Kali ini berbeda dengan kedua pasang lansia tadi. Sepasang lansia ini
menggunakan pakaian tani yang terlihat sedikit kotor. Mereka kemudian duduk di
bangku sebelah belakangku. Bau dedaunan seraya terbang mengiringi kedatangan
mereka. Suasana pagi ini begitu indah. Aku baru pertama kali duduk di kelilingi
tiga pasang lansia yang menjalin melodi dengan keharmonisan. Aku merasakan hari
ini adalah hari yang sangat indah. Betapa tidak? Sekian lama aku menumpang bus,
baru pertama kalinya aku merasakan kedamaian hati yang seperti ini.
Sepertiga lagi perjalananku akan
selesai. Kucoba melirik di sebelah kanan jendela yang terlihat sebuah bangunan
bertuliskan “ Desa Tumanggal “. Lalu terdengar ketokan tangan keriput sang
kakek yang duduk disampingku. Tak lama kemudian mereka turun dari bus sambil
menjinjing karung. Tubuh ringkih keduanya nampak menghilang ketika bus kembali
melaju. Namun, aku kembali kehilangan sepasang suami istri lansia. Ketika
mereka yang duduk di belakangku turun dari bus. Kemudian perjalanan kami
lanjutkan. Tapi sayang sekali, ketika bus hendak masuk ke daerah Rembang. Sang
sopir memutuskan untuk berhenti dan berbelok lagi ke Purbalingga. Aku sangat
menyayangkan perilaku supir bus itu. Mereka seenaknya saja menurunkan kami di
tengah jalan. Kini hanya aku dan sepasang lansia yang mau tidak mau harus
berdiri di pinggir jalan untuk menunggu bus selanjutnya datang.
“ Dasar supir,
mentang-mentang busnya tidak penuh seenaknya saja menurunkan orang di tengah
jalan.” Terlihat sang Kakek marah.
“ Iya tuh Mbah.”
Aku mencoba menjawab.
“ Tadi
mengemis-ngemis supaya kita naik. Udah naik malah diturunin sembarangan.”
Kembali sang Kakek mengungkapkan keprotesannya.
Sementara sang Nenek
hanya terdiam dengan muka sedikit ditekuk.
“ Sampeyan(kamu) mau
kemana?” tanya kakek kepadaku.
“ Ke Losari . Lah
Mbah mau kemana?.” Jawabku.
“ Bantarbarang. Lah
asalmu mana? Purbalingga ya?” tanya kakek dengan penasaran.
“ Bukan kek. Aku
dari Sumampir.” Jelasku.
“ Ohh yaya.”
Kemudian terdengar
suara kondektur memanggil kami untuk segera naik ke bus. “ Ini yang kosong aja
sampai ke Rembang.” Ungkap sang kakek.
“ Iya..” aku
mencoba menjawab dengan muka kekecewaanku.
Perjalanan dilanjutkan. Memasuki
wilayah daerah dimana desaku berada. Kami layaknya disambut dengan beberapa
tikungan jalan yang begitu tajam dan menurun. Semilir angin serasa memasuki bus
dan membuat mata penumpang bus seperti tak ingin melewatkan begitu saja
keindahan pagi ini. Pohon-pohon tebu yang tertata menancap rapi di tanah yang
bergelombang. Ohh, indahnya alam negeriku. Betapa kagumnya dengan tanah
bangsaku. Berbagai alam dan warna bersatu membentuk keindahan yang menyejukan
dan mendamaikan hati. Kemudian sang kakek nenek mulai turun dari bus ketika mereka
sampai di pertigaan jalan pasar. Pasar yang masih begitu ramai seakan
menghilangkan suara mereka tatkala turun dari bus. Kini hanya aku sendiri dalam
bus dan hanya sebentar saja. Aku sampai di terminal Losari. Kemudian aku
melanjutkan perjalananku ke rumah dan sampai dalam hitungan menit.
Aku merasakan ada hal yang berbeda
dalam perjalananku kali ini. Kedamaian dan ketenangan terasa merayapi hati ini.
Mungkinkah semua ini karena ketiga pasangan lanjut usia itu. Keakraban,
kesetiaan, kebaikan, keramah tamahan mereka membentuk alunan harmoni yang sedap
dipandang. Ketulusan mereka menjalani takdir dan kehidupan seakan merasuki alam
pikirku. Kelembutan bicara dan perilaku mereka memang indah untuk
diperdengarkan. Aku berharap setelah ini, banyak pengalaman yang aku dapatkan
dan menginspirasi dalam perjalananku.
Sekian dan Salam
Hangat,
Imam Arifin