Lima Puluh Persen
Matahari kali ini begitu malu
untuk membagi sepercik sinarnya kepada bumi. Kedinginanan pagi pun masih terasa
menyelimuti badan para penduduk damai desa ini. Tapi getirnya dingin ini tak
akan pernah menjadi batu sandungan untuk
Adno dalam menjalani kehidupan ini.
Air
yang sejuk seraya menusuk tulangnya ketika tubuh besarnya ditumpahi seguncur
air yang begitu dingin. Dengan segera dia memakai pakaian sekolah
kebanggaannya. Tanpa berpikir panjang, Adno langsung menuju sekolah yang ia
cintai tanpa melahap sedapnya sepiring sarapan pagi. Orang tuanya pun tidak
pernah mengingatkan ia untuk menikmati masakan pagi buatannya.
Berangkat
sekolah melewati bukit yang begitu indah yang dilapisi karpet hijau nan basah
dan ditumpangi beribu-ribu aneka tumbuhan yang subur membuat rasa semangat
patriotismenya menggelegar. Jarak sekolah yang tak begitu jauh, yaitu hanya
dibawah bukit dimana terdapat surga tempat tinggalnya, membuat rasa lelahnya
takut untuk mengginggapi dirinya.
Matahari
mulai memunculkan sinarnya ketika Adno sampai di depan pintu gerbang
sekolahnya. Dengan wajah yang penuh senyum, dia mulai menyapa teman-temannya. Tak terlihat senyum
teman-temannya membalas senyum ikhlasnya. Tetapi, Adno tidak memikirkan tentang
hal itu, dengan langkah tegap dia mulai masuk kedalam kelas yang telah tertulis
” KELAS V “ di atas pintun kelasnya. Tak sekian lama, bel berbunyi menandakan
waktunya pelajaran dimulai.
Matematika
sebagai pelajaran pembuka, dengan wajah yang masih segar, Adno mulai membuka
buku catatannya yang begitu rapi bagaikan lapak pedagang kaki lima di pinggir
jalan kota besar. Materi kali ini begitu
membosankan baginya, sehingga dengan cepat pikirannya berubah menjadi muram.
Detik demi detik mencoba dilihatnya, berharap jam pelajaran ini cepat berlalu.
Dan sudah tidak menahan hasratnya untuk bermain sepakbola di pelajaran olahraga
sesudah ini. Menunggu waktu yang begitu lama, membuat matanya terasa dibebani
sebuah batu yang besar. Sehingga lambat
waktu, dia mulai menjatuhkan kepalanya di sebuah meja yang pikirnya empuk
seperti bantal di rumah. Setengah jam berlalu, waktunya untuk berganti
pelajaran. Terdengar sebuah suara lonceng yang indah masuk menuju lubang
telinganya. “ waktunya pelajaran
olahraga yang beraksi” teriaknya dalam batin. Tak terkira, guru matematika
sedang menulis di selembar kertas yang sudah hampir terpenuhi angka-angka yang
membingungkan.
Selesai menulis, berjalanlah guru itu menuju
Adno, sambil menyerahkan kertas yang baru ditulisnya dia berkata “ tolong kerjakan 25 soal matematika ini
sebagai hukuman bagi murid yang tidur di kelas “.
Kemudian Adno menjawab “ 25 soal bu? Itu terlalu banyak,
saya kan hanya tidur setengah jam?.
Bu guru menjawab keluhannya “ setengah jam itu 30 menit,
kamu seharusnya mengerjakan soal ini sebanyak 30 soal, kamu mau kalau Ibu
tambahin?”
Dengan sigap Adno menjawab “ jangan Bu, ini sudah dari
sekedar cukup. Kapan dikumpulkan tugas sebanyak ini Bu?”
Dengan cepat Bu guru menjawab “ Besokkk “
Adno seperti terlempar dari sebuah banteng yang sedang ia
tunggangi. Dia berpikir bagaimana untuk mengerjakan soal sebanyak itu, mengerti
saja tidak tahu apalagi mengerjakan.
Dengan
sedikit lesu, dia mulai bangkit kembali untuk mengikuti pelajaran olahraga
sebagai pelajaran yang dia sukai. Seragam yang menempel di tubuhnya dengan
cepat berganti dengan sebuah kaos olahraga beserta celananya. Kemudian
melangkah pergi menuju gerbang lapangan. Kegiatan pemanasan sudah ia lewati dan
tiba saatnya untuk bermain sepakbola. Lapangan yang licin dan penuh dengan
beberapa lubang besar yang tergenang limpahan air tidak menyurutkan niatnya
untuk memenangkan pertandingan kali ini. Permainan berlangsung dengan seru,
tetapi dewi fortuna memang belum menghampiri dia. Tim yang ia bela harus takluk
dengan skor 4-1, lebih parahnya lagi 1 dari keempat gol yang masuk kegawang timnya
merupakan gol bunuh diri yang Adno lakukan. “Hari ini begitu menyebalkan”
pikirnya.
Selesai
bermain sepakbola, Adno mengajak teman-temannya untuk membersihkan diri di sungai yang dekat dengan lapangan. Air sungai yang
berwarna cokelat mulai sedikit menghilang warnanya berubah menjadi warna bening
. Mandi di sungai yang begitu bersih ini membuat hari yang melelahkan Adno
terasa kabur terbirit-birit dari dirinya. Merasa sudah terlalu lama mandi, Adno
memutuskan untuk kembali ke kelas dan meninggalkan teman-temannya di sungai.
Adno menduga waktu istirahatnya sudah habis, jadi dia mulai menyusun alasan
agar guru yang nanti mengajarnya tidak menghukumnya kembali. Secuil ide muncul
dari otaknya, dengan langkah pasti dia
menginjakan kakinya di depan pintu kelas. Tangan berairnya mulai mengetuk pintu
yang sedikit terbuka. Setelah disuruh masuk, Adno diminta untuk berdiri di
depan kelas untuk diberi beberapa pertanyaan .
Bu guru “ mengapa kamu terlambat ?”
Adno “ maaf Bu, bukan niat saya untuk terlambat
tapi..”(dipotong oleh Ayu)
Ayu “bukan niat untuk apa Adno? Kamu kan tadi mandi di
sungai dengan teman-teman yang lain?”
Bu guru “ benar yang dibicarakan Ayu, Adno?
Adno “ Iya Bu, tapi saya hanya mandi sebentar setelah itu
saya pulang kerumah.”
Bu guru “ ke rumah untuk apa?”
Adno “ Ibu saya sedang sakit, jadi saya harus memasak air
dan menanak nasi Bu.”
Bu guru “ ya udah, kamu silakan duduk dan mengikuti pelaran
Ibu.”
Adno “ terima kasih Bu...”
Alasan
yang dibuat kali ini manjur, dengan hati yang masih plong Adno mulai duduk dan
mengikuti pelajaran. Pelajaran kali ini begitu mengasikan, karena Adno tidak sepenuhnya menggunakan otaknya untuk
mencerna dan memahami pelajaran yang sedang disampaikan. Pelajaran Seni Budaya
dan Ketrampilan menjadi menu santapannya pada siang hari ini. Apalagi materi
yang sedang diajarkan adalah menggambar. Sehingga dengan semangat yang tinggi,
dia mulai menarik pensil mungilnya memebentuk lekukan-lekukan yang indah. Tema
yang Adno buat kali ini yaitu mandi di sungai. Sungai yang berwarna biru,
batu-batu bulat yang basah, serta sekelompok anak yang sedang berenang
menjadi pemandangan indah yang memenuhi
kertas gambar miliknya. Setelah selesai menggambar, kini tiba waktunya
penilaian hasil jerih payah para siswa oleh gurunya. Tak berlangsung lama,
hasil penilaiannya pun dibagikan. Alangkah senangnya Adno melihat goresan tinta
merah membentuk angka 87 yang melekat di sebuah batu yang dia gambar. Rasa
senangnya kembali bertambah tatkala sebuah suara merdu melintas di depan
telinganya yaitu, suara bel yang seraya
mengajaknya untuk pulang menghampiri Ibu kesayangannya. Dengan langkah yang
cepat, Adno mulai keluar dari kelas dan segera menuju ke rumah kesayangannya.
Sesampainya di rumah, Adno mulai
membuka pintu kayu rumahnya yang kemudian diikuti sebuah salam keluar dari
bibirnya.
Adno :”assalamu’alaikum Bu...”
Ibu :”wa’alaikumsalam.. kamu udah pulang Nak?”
Adno :udah lah Bu, Bu kali ini Adno mau memberikan Ibu kejutan..”
Ibu :”kejuatan apa Nak?”
Kemudian Adno membuka tas
kumuhnya dan mengeluarkan sebuah buku lalu dibukanya buku itu dengan cepat dan
memberikan kepada Ibunya.
Adno :” Bu, ini kejutannya..”
Ibu :” wah...kamu dapet nilai yang bagus Nak”
Adno :” ibu banggakan kan? Ini nilai tertinggi loh di
kelas..”
Ibu :“ibu bangga banget Nak, gak nyangka anak Ibu ternyata
pandai menggambar. Lanjutkan ya Nak?”
Adno :”iya Bu, inshaallah..”
Ibu :”ya udah, kamu makan gih. Ibu sudah masakin pepes ikan
buat kamu.”
Adno langsung bergegas berganti
pakaian dan dengan segera menuju ruang makan untuk menyantap makanan
favoritnya. Hari ini merupakan hari “
50% yang menyebalakn dan 50% yang menyenangkan” dalam batinnya.
Sekian.........
0 comments:
Post a Comment
Silakan Komentar dengan Bijak dan Santun